Jumat, 11 Desember 2009

Wafatnya Muhammad, 570-632 AD

Penyebab kematian Muhammad tidak begitu jelas, dan terdapat banyak beda-versi bahkan diantara periwayatan dari sumber Islam yang paling shahih sekalipun. Diantaranya seperti yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, Sirat Rasul Allah dari Ibn Ishaq, Kitab al-Tabaqat al-Kabir dari Ibn Sa’d, dan Al-Tabari. Pandangan tradisional mengatakan bahwa kematian Muhammad disebabkan karena diracuni oleh seorang wanita Yahudi yang anggota keluarganya dibunuh oleh Muhammad dalam suatu pembunuhan massal atas umat Yahudi, kemungkinan besar adalah Safiya.

Tetapi peristiwa peracunan tersebut terjadi antara dua-tiga tahun sebelum kematian Muhammad sehingga sulit untuk menyimpulkan bahwa racun tersebutlah yang membunuh Muhammad setelah sekian waktu lamanya. Tetapi Muslim tak bisa membantahnya pula, sebab benar bahwa Muhammad sendirilah yang mengetahuinya dan ia mengakui sakitnya sejak di makan daging domba beracun di Khaybar.

Muhammad sendiri tidak luput dari hukum “pedang berbalas pedang.” Ia kena racun dari perempuan Yahudi yang ditawannya di Khaybar, dan Allah tidak menghindarkan atau memunahkan racun itu dari padanya, seperti yang diakui oleh Anas bin Malik: “Saya selalu mengetahui pengaruh racun itu dalam kerongkongan beliau.” (HS Bukhari 1220).

Aisha menyaksikan betapa Muhammad menderita, karena sakit keracunan makanan tersebut disaat-saat kritisnya: “Hai Aisha! Saya senantiasa merasa pedih makanan racun yang saya makan di Khaybar. Itulah waktunya saya merasa tali jantung saya putus karena racun itu.” Di balik penderitaan jasmaninya, harapan dan permohonannya untuk keselamatan dirinya di akhirat juga tidak menentu, karena tidak ada tanda-tanda dijawab lagi oleh Jibril maupun Allah. Muhammad hanya bergumul sendirian dengan maut: “Wahai Tuhan! Ampunilah saya! Kasihanilah saya dan hubungkan saya dengan dengan TEMAN yang Maha Tinggi…” Lalu beliau mengangkat tangannya sambil mengucapkan: “Teman yang Maha Tinggi.” Lalu beliau wafat dan rebahlah tangan beliau. (HSB 1570, 1573, 1574).

Allah memberikan kepada Rasul cara kematian yang terbaik yang bisa dibayangkan oleh seorang laki-laki, dia meninggal dalam pelukan istrinya yang paling dicintai yaitu Aisha.
Laporan Ibn Hisham, halaman 682:
…. bahwa dia mendengar Aisha berbicara: “Rasul meninggal diatas dadaku pada saat giliranku. Adalah karena ketidak- tahuanku dan gairah mudaku sehingga Rasul meninggal dalam pelukanku.”
Diceritakan oleh Aisha pula:
“Dia meninggal pada hari giliranku yang biasa dalam rumahku. Allah mengambil dia ketika kepalanya ada diantara dada dan leherku dan air liurnya bercampur dengan air liurku.” (Bukhari, Vol 7, Book 62, No. 144)

Air liur saling bercampur? Itu sebuah misteri. Yang jelas adalah seperti yang diakuinya bahwa Aisha tidak punya pengalaman untuk menjaga hal-hal yang fatal karena kegairahan cinta. Dia tidak melihat adanya bahaya seorang tua yang sakit berat bila bergairah dengan seorang wanita muda. Jantung Rasul yang sudah tua dan sedang kritis bisa tidak tahan sampai timbul cardiac arrest (jantung berhenti). Aisha melihat dia mati dan terkulai diatas dadanya, lalu ia merasa bersalah atas “ketidak tahuannya”. Tetapi yang lebih celaka lagi adalah Hadits yang menunjukkan bahwa Rasul tidak sempat menyebut kalimat sahadat pada saat terakhirnya seperti layaknya seorang Muslim.
Dia terkulai dalam pencaharian kosong akan “Seseorang Maha Tinggi”. Dan Rasul Allah dibungkus dengan tiga lapis kain buatan Najran: dua kain dan satu baju yang dipakai saat kematiannya (Dawood Book 20, no. 3147).

Abu Bakar datang dan masuk kedalam mesjid ketika mendengar berita kematian Muhammad, pada saat itu didalam mesjid Umar di tengah kesedihannya sedang khusuk memberi ceramah dari atas mimbar. Sementara itu Ali masuk ke rumah Aisha, tempat dimana jenazah Muhammad diletakkan. Ia mendekatinya, menyingkap-kan kain penutup wajahnya dan menciumnya. Lalu Ali berkata: “Demi ayah dan ibuku, engkau telah merasakan kematian yang telah ditakdirkan Allah untukmu, dan engkau tidak akan lagi menderita kematian.” Kemudian Ali menutup kembali wajahnya dan pergi ke mesjid. Ia mencoba untuk memberikan ceramah kepada orang-orang, tetapi Umar bersikeras untuk melanjutkan ceramahnya. Tetapi ketika Abu Bakar melihat bahwa Umar tidak juga berhenti berbicara, ia sendiripun mulai berbicara menyela Umar. Disana Abu Bakar berterima kasih kepada Allah lalu berkata kepada orang banyak: “Kepada mereka yang memuja Muhammad, sekarang Muhammad telah meninggal. Tetapi mereka yang memuji Allah, Allah tetap hidup dan tidak akan pernah mati.” (The life of the Prophet oleh Muhammad bin Abd Al-Wahab, hal.145).

Kematiannya datang begitu cepat dan tidak memberi kesempatan sedikitpun buat dia untuk menyelesaikan semua urusannya. Dia tidak pernah menghimpun dan menyusun pelbagai berkas wahyu yang diterimanya agar dapat dijadikan sebuah kitab Al Qur’an dalam susunan/urutan asli yang bagaimana yang seharusnya sama dengan yang tertulis di surga. Dia tidak pernah menyiapkan pemimpin pengganti dirinya, dia juga tidak pernah menetapkan tata birokrasi pemerintahan apapun yang harus dijalankan penerusnya setelah dia meninggal.
Pendek kata, Muhammad menjelang kematiannya tidak mampu mengurus keumatan dan ke-islaman samasekali. Ia hanya mengurus dirinya agar diampuni dosanya dan minta dihubungkan dengan satu Temannya yang Maha Tinggi, yang dipercaya adalah Sosok yang paling berotoritas dalam alam Akhirat dan Hari Penghakiman (lihat surat 3 :45; 4:159; 43:61). Siapa sosok yang satu ini menjadi perdebatan diantara pakar Islam sendiri. Ada yang menginterpretasikannya sebagai Jibril, ada yang menunjukkan siapa yang pernah diklaim Muhammad sendiri sebagai temannya yang paling dekat diakhirat, “Saya yang lebih dekat dengan Isa anak Maryam didunia dan akhirat” (HSB 1501).

Makam Muhammad dalam mesjid Nabawi, Medinah.
Sebelah kirinya adalah makam Abu Bakar, kalifah pertama.

1 komentar:

  1. HSB 1220 yang aku baca kok tidak menjelaskan hal yang sama seperti di atas min?

    BalasHapus